LAWAN BUZZER, TOLAK KATEGORISASI

 

LAWAN BUZZER, TOLAK KATEGORISASI




LAWAN BUZZER, TOLAK KATEGORISASI 


Oleh Fahd Pahdepie* 


Saya masih terus bergerak untuk membongkar kasus fitnah terhadap UAH. Dalam perjalananya, saya menemukan banyak hal. Kini, izinkan saya menyampaikan satu pikiran yang belakangan begitu mengganggu. Kita harus melawan kategorisasi. 

Pilpres sudah lama selesai. Capres-cawapres yang kalah tahun 2019, Prabowo-Sandi, pun kini bergabung dalam kabinet Jokowi-Amin. Prabowo menjadi Menhan dan Sandi Menjadi Menparekraf. Sayangnya luka dan residu pertarungan pilpres itu belum selesai, kubu-kubu masih terbelah dan berperang di media sosial. Meski makin kompleks relasinya. Banyak yang masih baper nggak karuan. 

Yang paling menggelisahkan saya dari sisa-sisa pertarungan wacana dan agitasi media sosial pasca pilpres adalah munculnya sentimen negatif terhadap Islam dan tokoh-tokohnya. Ada sebagian pendukung Jokowi yang bertransformasi menjadi pembela pemerintah sambil melupakan objektivitas, membabi-buta di media sosial dengan narasi buruk bahkan fitnah kepada kelompok yang mengkritik pemerintah, dan yang paling menyedihkan adalah mereka mengira kelompok Islam itu anti-pemerintah sehingga perlu diserang dan dilemahkan. Dipukul rata begitu saja. 

Pada saatnya kelompok-kelompok ini menjadi semakin liar. Sebenarnya sudah tidak ada hubungan dengan pemerintah, tidak punya relasi resmi dengan negara, tetapi 'sok negara' menuduh pihak lain yang mengeritik pemerintah sebagai 'kadrun'. Ada bias yang luar biasa ngawur dalam kategorisasi ini, yang kritik pemerintah dianggap 'selalu' bagian dari kanan Islam. Mulai dari isu KPK sampai Palestina. 

Kelompok-kelompok penuduh inilah yang kita sebut 'buzzer', para pendengung yang memperkeruh percakapan publik. Sebagian menyebutnya 'BuzzeRp', sisipan 'Rp' di belakang menunjukkan sinisme yang lain—mereka dinilai rela mengumbar narasi negatif bahkan fitnah hanya demi uang belaka. Saya tidak tahu mereka dibayar atau tidak. Konon yang mengatur adalah 'Kakak Pembina', tak jelas juga siapa Kakak Pembina itu. 

Namun, bisa kita baca dengan jelas dalam postingan, tweet atau narasi yang mereka buat, kelompok 'buzzer' ini berusaha mengkategorikan lawannya sebagai Islam kanan... narasi seperti 'kadrun' atau kadal gurun, gerombolan berjubah, penjual agama, taliban, dan seterusnya berusaha mengesankan bahwa kelompok Islam yang ekspresif dengan keislamannya selalu bertentangan dengan pemerintah. 

Kategorisasi pun dibuat. Tokoh-tokoh dikelompokkan dalam satu kategori melawan kategori lain: UAH, UAS, Aa Gym, Habib Rizieq, Khalid Basalamah, (alm) Tengku Zulkarnain dan seterusnya. Nama-nama ini dikontraskan dengan tokoh Islam yang lain: Quraish Shihab, Gus Baha, Gus Miftah, Gus Muwafiq, dan seterusnya. Terasa juga ada pembedaan ruang antara Muhammadiyah, Persis, Dewan Da'wah dan seterusnya dengan Nahdlatul Ulama. Selalu ada narasi yang membentur-benturkan mereka, mengkontraskan satu sama lain. 

Kategorisasi ini pun melebar ke figur publik lainnya. Artis-artis dilabeli. Ada istilah 'artis hijrah' yang dikesankan kadrun, misalnya Arie Untung dan Teuku Wisnu. Sementara figur publik lain kerap dikontraskan dengan mereka, misalnya Deddy Corbuzier, Yuni Shara atau Inul Daratista. Politisi pun dilabeli dan distigma. Yang mendukung pemerintah dikesankan dengan corak tertentu, yang kritis terhadap pemerintah distigma sama dengan SBY, Amien Rais, dan seterusnya. Politik kita jadi menyebalkan. 

Kategorisasi ini sangat berbahaya, untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Bukan hanya berbahaya bagi salah satu kelompok yang pro-pemerintah atau kritis terhadap pemerintah saja, tetapi bagi bangsa ini secara umum. Kategorisasi itu, ditambah narasi-narasi yang memecah belah dan mengadu domba, akan memperkuat rasa kebencian satu kepada yang lain. Ada logika 'us vs them' di sana. Jika terus dirawat, dikompori, diberi bensin, saya khawatir akan tereskalasi menjadi konflik yang membakar rumah Indonesia. 

Akhir-akhir ini saya terlibat membongkar fitnah dan narasi benci yang ditujukan kepada Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyusul keberhasilnnya menggalang donasi untuk Palestina. Saya berkonfrontasi dengan Eko Kuntadhi di twitter bahkan menulis panjang tentang ini. Dalam penelusuran saya ke beberapa akun media sosial dan channel Youtube yang memuat fitnah kepada UAH, sangat terasa kental kategorisasi itu. Publik dibentur-benturkan secara luar biasa. Orang-orang ini tidak terhubung, tetapi digerakkan oleh narasi dan kesadaran yang sama. 

Perlahan namun pasti, saya yakin sentimen antar pemeluk agama jadi menguat. Makin menguat. Yang bukan Islam, jadi terkonsolidasi di satu pihak tertentu dan berlawanan dengan kelompok Islam yang dikategorikan kanan tadi. Ini jelas sangat berbahaya. Apalagi digiring untuk mendukung salah satu calon tertentu seraya habis-habisan menyerang Anies Baswedan, karena Anies dianggap bagian dari kategori 'kanan Islam' atau kadrun tadi. 

Logika ini membuat pertarungan narasi di ruang publik menjadi keruh dan kotor. Linimasa media sosial kita jadi ruang pertempuran yang tidak produktif bahkan beraroma kebencian. Kritik kepada pemerintah jadi tabu karena orang takut di-bully dan di-kadrun-kan. Sementara di sisi laib, persinggungan dengan negara dan pemerintah, termasuk pujian pada prestasi kinerjanya, jadi terasa salah karena khawatir dianggap bagian dari BuzzeRp. Sudah separah ini kualitas percakapan ruang publik demokrasi kita. 

Pada Pilpres 2019, saya pendukung Jokowi. Bahkan pernah bekerja sebagai Tenaga Ahli Madya di Kantor Staf Presiden. Tapi bagi saya, tak berarti hari ini saya harus menutup mata dan membabi buta membenarkan pemerintah dengan segala cara. Kebijakan publik harus selalu dikritisi, negara harus dikontrol oleh institusi dan instrumen demokrasi. Bukan oleh buzzer. 

Dukungan saya pada satu isu tidak berarti dukungan yang sama pada isu lain. Mendukung di Pilpres tidak berarti tidak boleh kritis pada pemerintah. Tidak mendukung di pilpres bukan berarti tidak boleh setuju atau mendukung kerja-kerja pemerintah. Demokrasi adalah sistem, politik adalah cara dan upaya kita membangun negeri ini, sifatnya temporal. Sementara rasa cinta kita kepada tanah air dan republik ini, harus melampaui semua itu, sifatnya permanen. 

Dengan menulis ini, tentu saya tidak terbebas dari risiko. Baik risiko politik maupun risiko publik untuk dirisak dan dihakimi. Tapi saya sudah hitung dan pertimbangkan. Saya harus bersuara dan bertindak. 

Hidup ini sebentar. Kalau tidak mulia, saya ingin berjuang membela sesuatu yang benar. Itu pilihannya. Suatu saat kita akan mati, mudah-mudahan anak cucu kita mengenang kakek-neneknya memperjuangkan sesuatu yang benar selama mereka hidup. Sesuatu yang meski orang lain mencibir dan mengancamnya, kita bela dengan dada yang berani. 

Mari bergerak. Tabik! 

FAHD PAHDEPIE

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama