Oleh: Yosi Muhaemin, S.Pd., M.B.A., M.Si. – Pengamat Kebijakan Publik
Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menaikkan Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 sebesar 43 persen. Anggaran bertambah dari sebelumnya Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun. Angka ini terdengar spektakuler, bahkan bisa dibilang lonjakan yang jarang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, di balik angka yang begitu besar, pertanyaan mendasar muncul: benarkah ini kabar baik bagi rakyat di daerah, atau sekadar angka manis di atas kertas APBN yang akan cepat kehilangan makna?
TKD dan Realitas Fiskal Daerah
Selama ini, TKD menjadi urat nadi keuangan daerah. Banyak pemerintah daerah sangat bergantung pada transfer pusat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka masih terbatas. Data terbaru menunjukkan betapa timpangnya kondisi ini.
Di Kabupaten Pemalang, misalnya, PAD 2024 hanya sekitar Rp425 miliar atau 15,6 persen dari total pendapatan daerah. Sisanya, 84,4 persen bergantung pada transfer pusat. Bahkan dengan tambahan itu, Pemalang tetap menutup APBD 2024 dengan defisit sekitar Rp96,5 miliar. Situasi tak jauh berbeda di Klaten, di mana PAD hanya menyumbang 10–12 persen dari total pendapatan, meski sektor pariwisatanya menghasilkan Rp194 miliar setahun. Sementara Banyumas sedikit lebih baik, PAD sekitar 30 persen, tetapi tetap berarti tujuh dari sepuluh rupiah belanja publik ditopang transfer pusat.
Kondisi ini menjelaskan fenomena beberapa daerah yang “memaksa” menutup celah fiskal dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara drastis, memicu protes warga. Bagi daerah dengan PAD lemah, tambahan TKD memang tampak sebagai kebutuhan mendesak.
Harapan dari Kenaikan TKD
Dari sisi positif, kenaikan 43 persen ini bisa memberi napas segar. Pertama, ruang fiskal lebih longgar memungkinkan daerah memperkuat layanan publik, terutama pendidikan dan kesehatan, sektor yang langsung dirasakan rakyat. Kedua, lonjakan TKD bisa jadi stimulus ekonomi lokal jika diarahkan ke program padat karya, pemberdayaan UMKM, dan infrastruktur dasar yang membuka akses ekonomi baru. Ketiga, bagi daerah yang selama ini tertekan karena PAD rendah, kenaikan TKD berpotensi mengurangi beban warga akibat pajak dan retribusi yang memberatkan.
Namun, optimisme ini tidak boleh membutakan. Kesiapan tata kelola anggaran daerah masih menjadi soal serius. Pemalang, misalnya, pada 2024 hanya mampu merealisasikan pendapatan 97,6 persen dari target. Di banyak daerah, persoalan serapan anggaran, belanja birokrasi gemuk, hingga praktik korupsi masih menghantui.
Kenaikan TKD juga bukan tanpa konsekuensi. APBN 2026 berpotensi menanggung defisit lebih lebar, artinya beban fiskal nasional bertambah. Pada akhirnya, rakyat juga yang menanggungnya melalui pajak dan utang. Jika dana ini sekadar mengalir ke pos rutin atau proyek fiktif, maka lonjakan 43 persen itu tak lebih dari “hiburan anggaran” yang cepat menguap.
Otonomi Daerah yang Belum Optimal
Sejak reformasi, otonomi daerah diharapkan membuat daerah lebih mandiri. Namun kenyataannya, banyak daerah masih pasif dan menunggu transfer pusat. Alih-alih mendorong kreativitas fiskal, kenaikan TKD berisiko mempertebal mental ketergantungan.
Karena itu, pemerintah pusat perlu memastikan bahwa lonjakan TKD menjadi momentum memperkuat kapasitas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan daerah. Sinergi pusat dan daerah adalah kuncinya. Tanpa itu, uang sebesar apa pun akan menguap tanpa meninggalkan jejak berarti.
Antara Harapan dan Hiburan
Kenaikan TKD 2026 sebesar 43 persen bisa jadi harapan baru bila digunakan tepat sasaran: layanan kesehatan yang lebih merata, pendidikan yang lebih bermutu, dan infrastruktur yang membuka peluang ekonomi. Tapi tanpa tata kelola yang transparan dan akuntabel, tambahan triliunan rupiah itu hanya akan menjadi hiburan singkat, menyisakan beban fiskal di masa depan.
Tanggung jawab tak hanya di pundak pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat. Kepala daerah mesti berinovasi, DPRD wajib kritis mengawasi, sementara media dan publik perlu aktif memantau. Hanya dengan cara itu, kenaikan TKD tidak berhenti sebagai kabar gembira, tetapi sungguh menjadi kabar baik yang membawa perubahan nyata.
Kenaikan TKD 2026 sebesar 43 persen pada akhirnya bukan sekadar urusan angka, melainkan soal keberanian politik anggaran: apakah uang rakyat benar-benar kembali pada rakyat, atau justru hilang di jalan sebelum sampai tujuan. Jika pemerintah daerah mampu menjadikan tambahan dana ini sebagai energi untuk memperkuat layanan dasar, membuka ruang ekonomi baru, dan menumbuhkan kemandirian fiskal, maka 43 persen itu akan tercatat sebagai lompatan sejarah. Tapi bila tata kelola tetap rapuh dan pengawasan longgar, lonjakan itu hanya akan jadi pesta sesaat—meriah di panggung APBN, tapi sepi makna di kehidupan rakyat.
0 Komentar